Rezeki, Tidak Mesti Berwujud Materi
REZEKI, TIDAK MESTI BERWUJUD MATERI
Di dalam Lisan al ‘Arab, Ibnu al Manzhur rahimahullah menjelaskan, ar rizqu, adalah sebuah kata yang sudah dimengerti maknanya, dan terdiri dari dua macam. Pertama, yang bersifat zhahirah (nampak terlihat), semisal bahan makanan pokok. Kedua, yang bersifat bathinah bagi hati dan jiwa, berbentuk pengetahuan dan ilmu-ilmu.[1]
Mengacu pada penjelasan Ibnu al Manzhur tersebut, maka hakikat rezeki tidak hanya berwujud harta atau materi belaka seperti asumsi kebanyakan orang. Tetapi, yang dimaksud rezeki adalah yang bersifat lebih umum dari itu. Semua kebaikan dan maslahat yang dinikmati seorang hamba terhitung sebagai rejeki. Hilangnya kepenatan pikiran, selamat dari kecelakaan lalu-lintas, atau bebas dari terjangkiti penyakit berat, semua ini merupakan contoh kongkret dari rezeki. Bayangkan, apabila kejadian-kejadian itu menimpa pada diri kita, maka bisa dipastikan bisa menguras pundi-pundi uang yang kita miliki. Tidak jarang, tabungan menjadi ludes untuk mendapatkan kesembuhan. Imam an Nawawi rahimahullah mengisyaratkan makna tersebut dalam kitab Syarh Shahih Muslim (16/141).
Anugerah rezeki Allah Subhanahu wa Ta’ala meliputi setiap makhluk hidup. Limpahan karunia itu cerminan rahmat dan kemurahanNya. Porsi rezeki masing-masing manusia bahkan sudah ditentukan sejak dini, ketika manusia itu masih berupa janin berusia 120 hari.
Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dalam hadits yang panjang :
إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ ……ثُمَّ يُرْسَلُ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ
“Sesungguhnya salah seorang dari kalian dihimpun penciptaannya di perut ibunya … lantas diutuslah malaikat dan meniupkan ruh padanya. Dan ia diperintah untuk menuliskan empat ketetapan, (yaitu) menulis rezeki, ajal, amalan dan apakah ia (nanti) celaka atau bahagia …”[2]
Kendatipun rezeki telah ditetapkan semenjak manusia berada di perut ibunya, tetapi Allah Subhanhu wa Ta’ala tidak menjelaskan secara detail. Tidak ada seorang manusia pun yang mengetahui pendapatan rezeki yang akan ia peroleh pada setiap harinya, ataupun selama hidupnya. Ini semua mengandung hikmah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا
“Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diperolehnya besok“. [Luqman/31 : 34]
SPIRIT DARI AL QUR`AN
Langit tidak akan pernah menurunkan hujan berlian atawa emas perak. Laut pun tidak mengirimkan kekayaan perutnya ke daratan, sehingga orang-orang bisa beramai-ramai mengaisnya. Islam tidak menganjurkan pemeluknya untuk memerankan diri sebagai penganggur, meski dengan dalil untuk mengkonsentrasikan diri dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jadi, usaha itu merupakan keharusan. Tidak ada kependetaan atau kerahiban dalam Islam. Seorang muslim tidak selayaknya senang bergantung kepada orang lain, menunggu belas kasih dari orang-orang yang lalu-lalang melewatinya.
Renungkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung“. [al Jumu’ah/62 : 10].
Al Qurthubi rahimahullah mengatakan: “Berpencarlah kalian di bumi untuk berdagang, dan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan kalian, serta untuk mencari sebagian dari rezeki Allah Subhanahu wa Ta’ala ”[3]
Allah Subhanahu wa Ta’alal berfirman :
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ
“Dia-lah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya, dan makanlah sebagian dari rezekiNya“. [al Mulk/67 : 15].
Tentang ayat ini, Ibnu Katsir mengatakan : “Menyebarlah kemanapun kalian inginkan di penjuru-penjurunya, dan berkelilinglah di sudut-sudut, tepian dan wilayah-wilayahnya untuk menjalankan usaha dan perniagaan”[4]
REZEKI HARUS HALAL
Al Qur`an dan Sunnah telah mendorong manusia agar mencari rezeki yang halal lagi thayyib. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَوْفِيَ رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ
“Wahai manusia, bertakwalah engkau kepada Allah, pakailah cara baik dalam mencari (rezeki). Sesungguhnya seseorang tidak akan meninggal sampai ia sudah meraih seluruh (bagian) rezekinya, meskipun tertunda darinya. Bertakwalah kepada Allah dan lakukan cara yang baik dalam mencari (rezeki)”[5]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengingatkan manusia, hendaknya berhati-hati dari fitnah harta. Jangan meremehkan pentingnya rezeki yang halal, dan harus selektif dalam menghimpun rezeki. Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan hadits marfu’ :
َ يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لَا يُبَالِي الْمَرْءُ مَا أَخَذَ مِنْهُ أَمِنَ الْحَلَالِ أَمْ مِنْ الْحَرَامِ
“Akan datang suatu masa pada manusia, seseorang tidak peduli terhadap apa yang digenggamnya, apakah dari halal atau dari yang haram“[6]
BERKAH ITU PENTING!
Berkah (atau barokah), berasal dari kata الْبُرُوك (al buruk). Maksudnya ialah الثُّبُوت (ats tsubut atau menetap).
Az Zajjaj mengartikan berkah, sebagaimana dikutip oleh al Qurthubi dalam tafsirnya, dengan limpahan pada setiap hal yang mengandung kebaikan[7]. Kata itu pun dimaksudkan pula kepada makna pertambahan dengan tetap terpeliharanya dzat aslinya.
Namun perlu dingat, pengertian berkah ini tidak melulu identik dengan limpahan materi yang dimiliki, tetapi juga menyertai harta yang sedikit. Hal ini tercermin pada diri yang merasa berkecukupan untuk memenuhi kebutuhan satu keluarga, meskipun income yang didapatkan masih tergolong jauh jika dianggap cukup.
Dalam hadits Hakim bin Hizam Radhiyallahu ‘anhu di bawah ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya :
يَا حَكِيمُ إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرٌ حُلْوٌ فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ وَكَانَ كَالَّذِي يَأْكُلُ وَلَا يَشْبَعُ
“Wahai Hakim, sesungguhnya harta ini begitu hijau lagi manis. Maka barangsiapa yang mengambilnya dengan kesederhanaan jiwa, niscaya akan diberkahi. Dan barangsiapa mengambilnya dengan kemuliaan jiwa, niscaya tidak diberkahi; layaknya orang yang makan, namun tidak pernah merasa kenyang“[8]
Tentang hadits ini, al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, bahwa mayoritas manusia tidak memahami keberadaan berkah, kecuali pada harta yang semakin bertambah banyak. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dengan permisalan itu, bahwa berkah merupakan salah satu makhluk Allah, dan membawakan permisalan yang sudah akrab dengan manusia.[9]
Dari sini kita bisa mengetahui, bahwa cara-cara yang legal dalam mengais rezeki, tidak hanya mendatangkan rezeki yang halal lagi thayyib, tetapi juga akan berpengaruh pada lahir insan-insan masa depan, yaitu anak-anak yang berjiwa suci lagi berkepribadian luhur, lantaran mendapatkan asupan gizi dari makanan halal. Selain itu, juga dapat menghadirkan karunia lain, yang tidak bisa terpantau oleh indera ataupun dihitung dengan materi. Itulah berkah.
TIGA PEMBAWA BERKAH PADA HARTA
Pertama : Syukur.
Kenikmatan yang didapatkan seseorang pada setiap datang, tidak terhitung jumlahnya, termasuk di antaranya harta benda. Kenikmatan ini menuntut seseorang untuk memanifestasikan syukur kepada al Khaliq yang telah melimpahkan rezeki. Rasa syukur dan terima kasih serta pujian kepada Allah Azza wa Jalla atas nikmat itu, merupakan salah satu jalan untuk mendapatkan berkah dan tambahan pada harta yang dimiliki.
Ibnul Qayyim berkata, “Allah menjadikan sikap bersyukur sebagai salah satu sebab bertambahnya rezeki, pemeliharaan dan penjagaan atas nikmatNya (pada orang yang bersyukur). (Demikian ini merupakan) tangga bagi orang bersyukur menuju Dzat yang disyukuri. Bahkan hal itu menempatkannya menjadi yang disyukuri”[10]
Syukur jangan dipahami secara sempit, atau hanya dengan lantunan kata “alhamdulillah” atau “wa asy syukru lillah”. Syukur yang seperti ini tidaklah tepat, dan tidak pelak lagi, yang demikian itu merupakan pandangan yang terlalu dangkal. Syukur memiliki makna yang lebih jauh dan lebih luas dari sekedar ucapan tersebut. Segala perbuatan baik, seperti shalat, puasa, pengakuan kurang dalam menjalankan ketaatan, menghargai nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala , memperbincangkannya, menerima dengan ridha, walaupun sedikit, semuanya masuk dalam bentuk syukur. Dengan bersyukur, maka Allah akan menambahhkan karuniaNya kepada kita. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ
“Jika engkau bersyukur, niscaya Kami benar-benar akan menambahimu“. [Ibrahim /14: 7].
Al Qurthubi menjelaskan, artinya, jika engkau mensyukuri nikmatKu, niscaya Aku tambahkan kepada kalian dari kemurahanKu. Ayat ini merupakan dalil yang tegas bahwa bersyukur menjadi factor yang akan menambah kenikmatan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.[11]
Kedua : Shadaqoh.
Tidak sedikit ayat dan hadits yang menjelaskan shadaqoh dan infak merupakan salah satu penunjang yang dapat mendatangkan rezeki dan meraih berkah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ
“Allah menghapuskan riba dan mengembangkan shadaqoh“.[al Baqarah/2 : 276].
Maksudnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan meningkatkannya di dunia ini dengan berkah dan memperbanyak pahalanya dengan melipatgandakannya di akhirat[12].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Asma` bintu Abi Bakar Radhiyallahu ‘anha :
أَنْفِقِي وَلَا تُحْصِي فَيُحْصِيَ اللَّهُ عَلَيْكِ
“Berinfaklah, janganlah engkau menahan diri, akibatnya Allah akan memutus (berkah) darimu“[13]
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,”Larangan dari menahan diri untuk bersedekah lantaran takut habis (apa yang dimiliki), sikap ini merupakan faktor paling yang mempengaruhi terhentinya keberkahan. Karena Allah membalas pahala infak tanpa ada batas hitungannya.”[14]
As Sindi memaknai hadits di atas dengan mengatakan : “Janganlah engkau menahan apa yang ada di tanganmu, akibatnya Allah akan mempersulit pintu-pintu rezeki. Dalam hadits ini terkandung pengertian, bahwa kedermawanan akan membuka pintu rezeki, dan kikir adalah sebaliknya”[15]
Al Mubarakfuri berkata, “Hadits ini menunjukkan, bahwa sedekah meningkatkan harta dan menjadi salah satu penyebab keberkahan dan pertambahannya; dan (menunjukkan pula), kalau orang yang bakhil, tidak bersedekah, (maka) Allah mempersulit dirinya dan menghambat keberkahan pada harta dan pertambahannya.”[16]
Ketiga : Silaturahmi.
Usaha lain yang bisa mendukung bertambahnya rezeki dan bisa mendatangkan keberkahan pada harta yang dimiliki, yaitu menyambung jalinan silaturahmi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barangsiapa ingin dilapangkan dalam rezekinya dan ditunda ajalnya, hendaknya ia menyambung tali silaturahmi”[17]
Hadits di atas menunjukkan manfaat menyambung tali silaturahmi, yaitu dapat mendatangkan curahan kebaikan dari Allah berbentuk rezeki, terhindar dari keburukan, dan diraihnya keberkahan.
Al Hafizh rahiamhullah berkata : “Para ulama mengatakan, yang dimaksud dilapangkan rezekinya adalah, adanya keberkahan padanya. Sebab menyambung tali silaturahmi adalah sedekah, dan sedekah mengembangkan harta, sehingga semakin bertambah dan bersih”[18]
Wa billahit taufiq.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03//Tahun X/1427H/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1] Lisanu al ‘Arab, 10/1115.
[2] HR Muslim, kitab al Qadr, bab Kaifa al Khalqu al Adami fi Bathni Ummi wa Kitabati Rizqihi, 4/ 2037-2038.
[3] Al Jami’ li Ahkami al Qur`an (18/105).
[4] Tafsir al Qur`ani al ‘Azhim (4/105), dengan ringkasan.
[5] HR Ibnu Majah, kitab at Tijarat, bab al Iqtishad fi Thalabi al Ma’isyah (2/724), dan dishahihkan oleh al Albani.
[6] HR al Bukhari, kitab al Buyu’, bab Man Lam Yubali min Haitsu Kasaba al Mal (4/296).
[7] Al Jami’u Li Ahkami al Qur`an : 13/1 pada tafsir ayat pertama surat al Furqan
[8] HR al Bukhari, kitab az Zakat, bab al Isti’faf ‘an al Mas`alah (3/3350); Muslim, kitab az Zakat, bab Takhawwufi ma Yakhruju min Zahrati ad Dunya (2/727-729)..
[9] Fat-hul Bari (3/337)
[10] Madarijus Salikin (2/252) secara ringkas
[11] Al Jami’u li Ahkami al Qur`an (9/353).
[12] Al Jami’u li Ahkami al Qur`an (14/41).
[13] HR al Bukhari (3/299-300, 3/301, 5/217), Muslim (2/713), Abu Dawud (2/134), at Tirmidzi (6/94), an Nasaa-i (5/74).
[14] Fat-hul Bari (3/301).
[15] Hasyiyah as Sindi ‘ala Sunan an Nasaa-i (5/74-75)
[16] Tuhfatul Ahwadi (6/94).
[17] HR al Bukhari (4/301), (10/415).
[18] Fathul Bari (4/303).
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3722-rezeki-tidak-mesti-berwujud-materi.html